Picture
_Utsman bin Affan dikenal dengan sosok penerus pemeliharaan kitabullah setelah wafatnya khalifah Umar bin Khattab. Malah pada zaman Utsman bin Affan al-Qur’an kembali diperbaharui pembukuan-nya untuk kemudian dipatenkan menjadi mushaf Utsmani seperti yang kita kenal sekarang.
Tentang kedekatan Utsman bin Affan dengan al-Qur’an mungkin terlalu padat untuk dikenang di sini. Namun setidaknya ada jejak perkataannya dan kesan yang dirasakan oleh para muridnya tentang dirinya yang harum dengan aroma al-Qur’an dan juga kita para kader al-Qur’an era modern ini.

Dalam kesehariannya memelihara dan mensyiarkan al-Qur’an, Utsman bin Affan memiliki murid-murid yang istiqomah meneruskan jejak perjuangannya menjaga al-Qur’an ini. Di antara mereka ada  Abu Abdurrahman As-Sulamy, Mughirah bin Abi Syihab, Abu Aswad dan Zur bin Hubaisy. [1]
Banyak sekali hadits-hadits Rasulullah Saw ataupun juga perkataan-perkataan mutiara Utsman bin Affan yang memberikan suntikan motivasi kepada kita. Utsman mengajarkan kepada kita bagaimana seharusnya bermuamalah yang baik dengan al-Qur’an dalam kehidupan. Sebelum al-Qur’an berperan menjadi pedoman hidup yang mengurusi berbagai dimensi hidup manusia, Utsman mencontohkan bahwa sentuhan utama yang harus didapatkan seorang muslim dari al-Qur’an ini adalah sentuhan ayat-ayatnya yang mulia dan lembut. Insya Allah kalau hati manusia dan fitrahnya sudah mendapat sentuhan istimewa dari al-Qur’an, sekeras apapun hatinya pasti akan luluh dan sadar kepada kebenaran. Setelah itu hati akan menuju dan menghadap Tuhannya untuk melaksanakan kebenaran itu.
Hadits Rasulullah yang diriwayatkan dari Utsman bin Affan tentang fadhilah interaksi dengan al-Qur’an, yakni:
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar al-Qur’an dan mengajarkannya (kepada orang lain).”[2]   Pesan-pesan motivasi Utsman bin Affan kepada muslim yang mencintai al-Qur’an:
لَوْ طَهُرَتْ قُلُوْبُنَا لَمَا شَبِعَتْ مِنْ كَلاَمِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
Andai hati-hati kita suci, pastilah ia tidak akan pernah puas dengan (bacaan) kalamullah azza wajalla.[3]
إِنِّيْ لَأَكْرَهَ أَنْ يَأْتِيَ عَلَيَّ يَوْمٌ لاَ أَنْظُرُ فِيْهِ إِلىَ عَهْدِ اللهِ (يَعْنِى الْمُصْحَف)
“Sesungguhnya aku benci apabila datang satu hari saja kepadaku tapi aku tidak melihat janji Allah (yakni al-Qur’an) pada hari itu.”[4]
Utsman juga menerangkan bahwa seorang mukmin tidak akan bisa puas di dunia ini melainkan dengan hal, yakni:
حُبِّبَ إِلَيَّ مِنَ الدُّنْياَ ثَلاَثٌ: إِشْبَاعُ الْجِيْعَانِ وَكِسْوَةُ اْلعُرْيَانِ وَتِلاَوَةِ الْقُرْآنِ
Telah digemari pada diriku rasa cinta kepada dunia ini tiga macam hal: mengenyangkan orang kelaparan, menutupi orang yang tidak memiliki pakaian dan membaca al-Qur’an.[5]
أَرْبَعَةٌ ظَاهِرُهُنَّ فَضِيْلَة وَبَاطِنِهِنَّ فَرِيْضَة: مُخَالَطَةُ الصَّالِحِيْنَ فَضِيْلَةٌ وَاْلإِقْتِدَاءُ بِهِمْ فَرِيْضَة وَتِلاَوَةُ اْلقُرِآنِ فَضِيْلَة وَاْلعَمَلُ بِهِ فَرِيْضَة وَزِيَارَةُ اْلقُبُوْرِ فَضِيْلَة وَاْلاِسْتِعْدَادُ لِلْمَوْتِ فَرِيْضَةٌ وَعِيَادَةُ الْمَرِيْضِ فَضِيْلَةٌ وَ اتِخَاذُ اْلوَصِيَّةِ مِنْهُ فَرِيْضَةٌ
Empat hal yang zahirnya fadhilah (utama) dan substansinya faridhah (fardhu): Bergaul dengan orang-orang shaleh itu fadhilah dan meneladani mereka fardu, membaca al-Qur’an itu fadhilah dan mengamalkannya fardhu, ziarah kubur itu fadhilah dan mempersiapkan diri menyambutnya fardu dan membesuk orang sakit itu fadhilah dan mengambil wasiat darinya adalah fardhu.”[6]
أَضْيَعُ اْلأَشْيَاءِ عَشْرَةٌ: عَالِمٌ لاَ يُسْأَلُ عَنْهُ, وَعِلْمٌ لاَ يُعْمَلُ بِهِ وَرَأْيُ صَوَابٍ لاَ يُقْبَلُ وَسِلاَحٌ لاَ يُسْتَعْمَلُ وَمَسْجِدٌ لاَ يَصَلىَّ فِيْهِ وَمُصْحَفٌ لاَ يُقْرَأُ فِيْهِ وَمَالٌ لاَ يُنْفَقُ فِيْهِ وَخَيْلٌ لاَ تُرْكَبُ وَعِلْمُ الزُّهْدِ فِى بَطْنِ مَنْ يُرِيْدُ الدُّنْيَا وَعُمْرٌ طَوِيْلٌ لاَ يَتَزَوَّدُ صَاحِبُهُ فِيْهِ لِسَفَرِهِ
Sepuluh hal sesuatu yang hilang: orang alim yang tidak dijadikan konsultasi, ilmu yang tidak diamalkan, pendapat benar yang tidak diterima, senjata yang tidak digunakan, masjid yang tidak dishalati, mushaf yang tidak dibaca, harta yang tidak diinfakkan, kuda yang tidak ditunggangi, ilmu zuhud berada di dalam batin pecinta dunia dan umur panjang yang tidak dijadi-kan bekal untuk perjalanan (akhirat).”[7]
Diriwayatkan bahwa saking dekatnya Utsman bin Affan dengan al-Qur’an, pangkuannya tidak pernah lepas dari al-Qur’an. Karena begitu seseorang mengatakan: “Dia itu (Utsman bin Affan)  diberkahi dan didatangi keberkahan.”(yakni al-Qur’an)[8]
Tahukah anda bagaimana keadaannya ketika wafat? Utsman me-ninggal dunia dalam keadaan bersama al-Qur’an yang robek di dekatnya karena terlalu sering dilihatnya.[9] Subhanallah.
Di hari menjelang kewafatannya, istrinya mengatakan: “Silahkan kalian bunuh ia atau biarkanlah ia dalam kondisi demikian. Demi Allah, sungguh ia telah menghidupkan malamnya dengan al-Qur’an dalam satu rakaat saja."[10]
Diriwayatkan pula bahwa Utsman bin Affan membaca al-Qur’an dalam satu rakaat dan tidak melakukan shalat apapun kecuali shalat itu.[11]
Benarlah apa yang Allah firmankan dalam al-Qur’an:

“(apakah kamu Hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (QS. Az-Zumar: 9)
Seseorang yang gemar melakukan interaksi personal seperti halnya yang dilakukan Utsman bin Affan ini maka kebahagiaan akan meliputi dirinya. Atau katakanlah tidak persis seperti beliau karena kita tidak akan mampu melakukannya. Karena mereka jelas-jelas sebagai generasi terbaik yang tidak mungkin terulang sepanjang sejarah manusia. Setidaknya jejak langkahnya dan jejak-jejak sahabat salaf shalih lainnya menjadi rujukan kita bagaimana seharusnya ber-muamalah dengan kitabullah ini.
Penulis yakin bahwa kegiatan muamalah dengan al-Qur’an seperti yang dilakukan Utsman bin Affan in akan mengantarkan seseorang kepada hakikat taqarrub yang tinggi kepada Allah swt. Ia tidak bisa direkayasa dan dibuat main-main. Ini lantaran ketaatan kepada Allah Ta’ala adalah utuh lahir dari lubuk hati yang bersih dan paling dalam, sehingga pengamalannya pun bertujuan untuk mencari kebenaran hakiki.
Namun bukan berarti bentuk interaksi ini hanya terbatas dilakukan oleh orang-orang shaleh saja. Tidak. Tapi juga telah banyak dilakukan oleh orang-orang yang memiliki niat tidak baik. Di dalamnya ter-sembunyi niatan jahat dan bertujuan untuk menikam Islam, ajaran Islam dan umat Islam. Mereka inilah kaum munafik dan penjahat berkedok kebaikan. Mereka melakukan ini semua dalam rangka mempelajari kelemahan umat dan ajaran Islam. Karenanya kita perlu waspada dan selalu meningkatkan pemahaman kita akan dinullah ini.

[1]      Tarikhul Islam, Ahdul Khulafah Rasyidin oleh Zahabi. [2]    HR. Bukhari [3]   Al-Fatawa dan Al-Bidayah wan Nihayah [4]    Al-Bidayah wan Nihayah dan Faraidhul Kalam [5]    Irsyadul Ibad Listi’dad liyaumil Miad, Faraidul Kalam [6]    Irsyadul Ibad Listi’dad liyaumil Miad, Faraidul Kalam [7]    Irsyadul Ibad Listi’dad liyaumil Miad, Faraidul Kalam [8]    Al-Bayan wat Tibyan fii Maqtalis syahid Utsman, dan Faraidul Kalam [9]    Al-Bidayah wan Nihayah [10] al-Bidayah wan Nihayah [11] Khilafah Rasyidah wad Daulah Umawiyyah

    Author

    Write something about yourself. No need to be fancy, just an overview.

    Archives

    No Archives

    Categories

    All