Menyeru manusia menemukan fitrah dan kehidupan hakiki di tengah segala kebisingan dan kegaduhan jahiliyah adalah sebuah upaya yang memerlukan tujuan, target, sasaran, metode, strategi dan cara yang ihsan. Dan peran ilmu memandu harakah Islam mendapatkan jalan efektif untuk menyeru manusia adalah sebuah kemutlakan.
Yusuf Qardlawi, dalam Nahwa Wihdatul Fikrah, mengulas ayat,” Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan melainkah Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin laki-laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat tinggalmu.” (QS. Muhammad: 19), dengan mengatakan bahwa ayat ini secara eksplisit menempatkan ilmu lebih dahulu baru amal.
Sesunggunyalah, warisan harakah yang kini diemban para aktivis Islam diikuti dengan pencarian intensif saudara kembar amal: ilmu. Perpaduan ilmu dan amal inilah yang menjadi kunci sukses sejak masa Rasul, sahabat, tabiin, tabit-tabiin dan salafush-shaleh setelahnya.
Tatkala ilmu berpisah dari amal, maka kita mesti bersiap menghadapi bencana. Baik karena jalan perjuangan menjadi panjang akibat lambatnya kita berjalan. Atau musuh-musuh telah merancang strategi baru yang mengungkung kita selalu dalam tempurung.
Kisah Imam Syafi’i saat menetap di Baghdad yang cuplikannya diambil dari Tarikh Baghdad memberi kita pelajaran berharga tentang bagaimana salaf mensikapi dan mengormati serta merindui ilmu.
Saat ditanya oleh kawan-kawannya,“Bagaimana semangat anda menuntut ilmu?”
Syafi’i rahimahullah menjawab, “Saya mendengarkan huruf demi huruf seakan-akan huruf-huruf itu belum pernah saya temukan selama ini. Karena itu, saya kerahkan seluruh anggota tubuh saya untuk menyimaknya.”
Sang penanya melanjutkan,” Bagaimana minat anda terhadap ilmu?”
Jawaban Syafi’i hampir senada, “Minat saya laksana orang mengumpulkan makanan yang berambisi menikmati kelezatannya secara sempurna.”
“Dan bagaimana cara anda mencarinya,” lanjut si penanya.
“Saya mencarinya laksana seorang wanita yang kehilangan anak satu-satunya yang di dunia ini ia tidak memiliki apapun selain dia.”
Yusuf Qardlawi, dalam Nahwa Wihdatul Fikrah, mengulas ayat,” Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan melainkah Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin laki-laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat tinggalmu.” (QS. Muhammad: 19), dengan mengatakan bahwa ayat ini secara eksplisit menempatkan ilmu lebih dahulu baru amal.
Sesunggunyalah, warisan harakah yang kini diemban para aktivis Islam diikuti dengan pencarian intensif saudara kembar amal: ilmu. Perpaduan ilmu dan amal inilah yang menjadi kunci sukses sejak masa Rasul, sahabat, tabiin, tabit-tabiin dan salafush-shaleh setelahnya.
Tatkala ilmu berpisah dari amal, maka kita mesti bersiap menghadapi bencana. Baik karena jalan perjuangan menjadi panjang akibat lambatnya kita berjalan. Atau musuh-musuh telah merancang strategi baru yang mengungkung kita selalu dalam tempurung.
Kisah Imam Syafi’i saat menetap di Baghdad yang cuplikannya diambil dari Tarikh Baghdad memberi kita pelajaran berharga tentang bagaimana salaf mensikapi dan mengormati serta merindui ilmu.
Saat ditanya oleh kawan-kawannya,“Bagaimana semangat anda menuntut ilmu?”
Syafi’i rahimahullah menjawab, “Saya mendengarkan huruf demi huruf seakan-akan huruf-huruf itu belum pernah saya temukan selama ini. Karena itu, saya kerahkan seluruh anggota tubuh saya untuk menyimaknya.”
Sang penanya melanjutkan,” Bagaimana minat anda terhadap ilmu?”
Jawaban Syafi’i hampir senada, “Minat saya laksana orang mengumpulkan makanan yang berambisi menikmati kelezatannya secara sempurna.”
“Dan bagaimana cara anda mencarinya,” lanjut si penanya.
“Saya mencarinya laksana seorang wanita yang kehilangan anak satu-satunya yang di dunia ini ia tidak memiliki apapun selain dia.”